Jika dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang
selain bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara
Kabupaten Indramayu, sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa
desa bukan lagi milik Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan
sekitarnya pernah masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di
wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu sudah masuk Kabupaten
Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa di sekitar itu
tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan adat-istiadat pun
menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng, wayang kulit
–yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu, biasa
dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda.
Dasuki (1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu sebelah
barat sungai Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu Kedemangan
Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan
Lelea.
Adapun daerah Indramayu sebelah timur Cimanuk
dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu, Karangampel, dan
Sleman (Jatibarang).
Di wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu, yang
berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh kebudayaan
Sunda sangat kuat. Di sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga
Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu malah memiliki asal-usul penduduk
yang memang berasal dari wilayah Sunda. Komunikasi sosial dan kultural
itu terjalin hingga kini menjadi sebuah akulturasi yang "nDermayu".
Sebenarnya
ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah barat
(seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis).
Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah
(Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih
sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari
Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah timur
Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan “urbanisasi” ke
barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan
kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik
tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang
melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah kolonial
Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan
logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini.

Yang
menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan
Kandanghaur, yang secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi
kultur Sunda. Hingga kini pengaruh Sunda di beberapa desa di dua
kecamatan tersebut cukup kuat. Meski dalam beberapa kosa kata tidak sama
dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan cenderung dianggap kasar,
bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di wilayah tersebut.
"Sunda-Lea" dan "Sunda-Parean" (maksudnya bahasa Sunda yang digunakan di
Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam
khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang
hidup di lingkungan Jawa pesisir.
Fenomena ini, tentu
saja, bukan terjadi dengan sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir
pasti memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu itu adalah akar
sejarah.
Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti
Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih
(Majalengka) satu demi satu dikuasai kerajaan Islam Cirebon. Dalam
menakulukkan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur ini banyak berperan dua
orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan dan Pangeran
Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga
ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara
Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto,
dan Eva Nur Arofah, 2004).
Penjelasan Sumedang pernah
menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni Kandanghaur, Lelea, dan
Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur yang masih lekat hingga
kini, yakni masih dipakainya bahasa Sunda. Ketika beralih pada kekuasaan
Cirebon, ada peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal dari
nama seorang pangeran asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun
waktu kekuasaan Cirebon atas tiga daerah di Indramayu saat Cirebon
mencapai puncak kejayaan, sebagaimana dikemukakan R.A. Kern (1973: 21),
yang diperkuat F. de Haan (1912: 33-41) bahwa Cirebon telah berhasil
melebarkan wilayah kekuasaan dan sekaligus dapat mengislamkan
daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga
(1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62).
Jangan lupa
wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya pemerintahan, yakni
Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan lingkungan “keraton” dan
“ibukota” yang dibangun Wiralodra. Wilayah yang secara arkeologis
cenderung sebagai kota pemerintahan bercorak Islam-Jawa. Sungai Cimanuk
yang membelah kedua kecamatan itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat
nadi perekonomian dan militer, yang hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks
pecinan dan perkampungan arab yang ada di sekitarnya menjadi penanda
tersendiri akan keberadaan masa lalu itu.
Satu hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu yang
kini terbentang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai 114 km.
Dengan keluasan Laut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin
menjadi pintu masuk akan berbagai pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan
agama dari berbagai daerah dan bangsa. Agak serius untuk mendiskusikan
hal ini lebih jauh. Yang jelas adanya kerajinan batik di Paoman yang
motifnya serupa dengan Lasem (Rembang), kerajinan gerabah di blok Anjun
(Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga memiliki nama sama dengan
lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon).
Hal di
atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif Abdurrakhman beserta
ketiga adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah putra-putra
Sultan Sulaeman dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul Jati
dan Mbah Kuwu Cakrabuana. Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama
panjunan itu berasal dari anjun, barang-barang keramik yang terbuat dari
tanah liat.
Beliau besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun mesjid,
dan juga mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat barang-barang
keramik dari tanah liat. Dari sinilah tempat itu disebut panjunan.
Beliau juga membuat taman lelangu / taman untuk istirahat dan penenang
hati memandang ke alam bebas / panorama gunung Ciremai. Dari sinilah
tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon).
Di sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat, 1975).
Rumah-rumah penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan
keterpengaruhan itu. Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga
menyiratkan keterpengaruhan nama dari luar. Antara Karangampel-Balongan,
misalnya, ada lima nama yang juga memiliki kesamaan dengan nama di Jawa
Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang, Lombang, dan Majakerta.
Keterkaitan
dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan besar tersebut
ke seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa dengan Mahapatih
Gajah Mada pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada abad
ke-15 atau antara taun 1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan
Gunung Jati dengan Nyai Ageng Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan
penguasa di daerah Majapahit yang kemudian ikut Raden Patah, Sultan
Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ageng Tepasari
dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin
(Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983).
Melihat
wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali lagi,
mustahil adalah sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari
benang merah masa lalu yang bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah
benar Indramayu, yang terbentang dari Sukra-Gantar hingga
Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah berhubungan dengan Pajajaran, Demak,
Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten, Mataram, bahkan bangsa asing,
yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak “tunggal”, hanyalah pengaruh
Wiralodra semata?

Selama ini pengungkapan sejarah di
Indramayu lebih banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir naskah-naskah
tradisional, yang merupakan sumber sekunder. Sebuah pengungkapan yang
cenderung hanya sampai pada ranah dan perspektif sebagai sejarah peteng,
yang bisa ditafsirkan sebagai kegelapan sejarah karena belum ada relasi
yang tegas dengan sumber-sumber primer.