Ekosistem Mangrove Pantai
Karangsong
Ekosistem hutan mangrove
memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting bagi
seluruh ekosistem pesisir yang
mempunyai satu kesatuan dan ketergantungan baik
satu dengan yang lainnya.
Pengertian mangrove sendiri adalah tumbuhan pesisir yang
memiliki banyak fungsi, dari
beberapa fungsi tersebut meliputi fungsi ekonomi,
ekologi, konservasi, pariwisata,
sumber daya serta jasa, dan lain – lain, fungsi
mangrove sebagai tempat memijah,
membesarkan anak, mengasuh dan mencari
makan bagi ikan, sebagai penahan gelombang tsunami,
pencegah abrasi pantai dan
masuknya air laut ke darat, dan
fungsinya sebagai penyetabil wilayah pesisir adalah
beberapa fungsi yang paling umum
tersebut. (Priyono, A.).
Secara umum ekosistem mangrove
cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan
tekanan lingkungan. Namun tidak
mengaganggu keberadaan sumberdaya tersebut
sangat peka terhadap pengendapan
atau sedimentasi, tinggi rata – rata permukaan air,
pencucian serta tumpahan minyak.
Keadaan ini mengakibatkan penurunan
kadar
oksigen dngan cepat untuk
kebutuhan respirasi, dan menyebabkan kematian
tumbuhan mangrove. Pemanfaatan
sumberdya hutan mangrove secara ideal
seharusnya memperhatikan
kebutuhan masyarakat, namun tidak mengganggu
keberadaan sumbrdaya tersebut.
Yang menjadi pertimbangan paling mendasar untuk
dilakukan adalah kegiatan yang
menguntungkan bagi masyarakat umum, disamping
pertimbagan ekologis dalam
pemanfaatan ekosistem mangrove.
Dalam upaya rehabilitasi hutan
mangrove untuk kesejahteraan masyarakat
sekaligus dapat menjaga
kelestariannya perlu dikembangkan kegiatan pemberdayaan
masyarakat pesisir yang langsung
terkait dalam pemanfaatan dan pengelolaan
ekosistem mangrove.
Dalam upaya rehabilitasi hutan
mangrove untuk kesejahteraan masyarakat yang
sekaligus dapatmenjaga
kelestariannya perlu dikembangkan kegiatan pemberdayaan
masyarakat, khususnya masayarakat
pesisir yang langsung terkait dalam pemanfaatan
dan pengelolaan ekosistem
mangrove.
Kawasan ekosistem mangrove di
Kabupaten Indramayu terutama kawasan pesisir
Desa Karangsong telah banyak
mengalami penurunan luas, serta luasan mangrove
yang tersisa telah mengalami
kerusakan yang cukup tinggi. Rusaknya ekosistem
mangrove ini disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya adanya abrasi, swedimentasi,
konversi lahan dan perbedaan
persepsi antar masyarakat dengan kelompok pengelola
ekosistem mangrove. Sebagai
contoh khusus untuk Kabupaten Indramayu, kerusakan
mangrove disebabkan oleh
pengubahan / konversi lahan menjadi peruntukan lainnya
seperti pertambakan,
pertanian, perumahan, serta karena
abrasi. Kabupaten
Indramayu merupakan daerah
pantai dengan garis pantai sepanjang 114 Km,
merupakan lalu lintas kegiatan
perekonomian melalui jalur pantura dengan panjang
jalan Negara 110,7 Km.
Kondisi saat ini kawasan pantura
indramayu mengalami tingkat abrasi, intrusi dan
sedimentasi yang cukup tinggi.
Dengan areal pantai yang terkena abrasi seluas
2.153,12 ha tersebar di tujuh
kecamatan dan dua puluh delapan Desa. Rata
– rata
tingkat abrasi di Pantura
Indramyu antara 2 m – 5 m/tahun, dan
proses sedimentasi
pada muara sungai sangat cepat.
Sedangkan intrusi air laut ke darat sejauh 17 Km.
Sedimentasi yang terjadi di
Indramayu saah satunya berakibat pada terjadinya
pendangkalan muara – muara sungai di wilayah pesisir dan
perairan. Berdasarkan
kondisi dan permasalahan
tersebut maka perlu dilakukan pendekatan kegiatan yang
mampu mengakomodasikan segenap
kepentingan para pihak yang terkait dengan
pengelolaan wilyah pesisir, dan
tetap mengutamakan keberlanjutan fungsi ekologis
dan lingkungan. Dalam hal ini
perlu dilakukan upaya rehabilitasi ekosistem
mangrove khususnya di Desa
Karangsong Indramayu yang nantinya akan dijadiakn
sentra kawasan pariwisata
sebagai mangrove center di Kabupaten Indramayu.
Area mangrove yang terdapat di
Kabupaten Indramayu relatif sedikit,
pengelolaannya dikelola oleh
Dinas Perhutani Kabupaten Indramyu. Daerah yang
relatif banyak mangrovenya dalah
daerah pesisir Kecamatn Losarang, kandanghaur
dan Sindang salah satunyayaitu
Desa Karangsong yang termasuk dalam Kecamatan
Sindang, di Desa karangsong ini
mangrovenya sudah sedikit habis karena berbagai
macam ulah manusia maupun
alam.
Desa Karangsong merupakan desa
dengan tipologi desa pesisir atau pantai dengan
wilayah yang langsung berbatasan
dengan Laut Jawa. Sebagai desa pantai atau pesisir
letaknya berada di dataran
rendah dengan ketinggian 0,5 meter samapai 1,0 meter
diatas permukaan laut, dengan
curah hujan rata – rata 2000 mm / tahun, dan bersuhu
udara rata – rata
27° C. Desa Karangsong memiliki luas ± 391,45 Hektar dengan
penggunaan lahan seperti pada
table berikut :
Tabel 1. Penggunaan lahan Desa Karangsong Kec.
Indramayu
No Penggunaan
Luas (Ha)
1 Sertifikat hak milik 158,18
2 Tanah Kas Desa
Tanah bengkok 16,66
Tanah titisara 1,84
3 Jalan
0,03
4 Empang / Pertambakan 204,07
5 Pemukiman / Perumahan 7,87
6 Perkantoran
0,02
7 Perkuburan
0,03
8 Sawah irigasi tadah hujan 2,75
JUMLAH = 391,45
(Sumber Data :
Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu 2009)
Pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove secara ideal seharusnya
mempertimbangkan kebutuhan
masyarakat dan kelestarian ekosistem hutan tersebut.
Dalam upaya tersebut, Perum
Perhutani telah memperkenalkan suatu pola
pemanfaatan yang di sebut
silvofishery atau tambak tumpangsari.
Tambak
tumpangsari merupakan suatu pola
agroforestry yang digunakan dalam pelaksanaan
program perhutanan sosial di
kawasan hutan mangrove yang berpenduduk padat. Pola
ini merupakan kombinasi antara
tambak/empang dengan tanaman bakau. Pola ini
dianggap paling cocok untuk
pemanfaatan hutan mangrove saat ini, karena
diharapkan kesejahteraan
masyarakat dapat di tingkatkan, sedangkan hutan mangrove
masih tetap dijaga
kelestariannya.
Pola ini mulai dikembangkan
sejak tahun 1986 dimana pada saat itu baru
merupakan uji coba percontohan,
sejak tahun 1988 pola ini dikembangkan secara
massal, yang dikuti pula dengan
terbentuknya Kelompok Tani Hutan (KTH) Payau
sebagi mitra Perum Perhutani
dalam mengelola hutan payau.
Pola kemitraan dituangkan dalam
bentuk kerjasama penanaman, pemeliharaan,
perlindungan/ pengamanan serta
pemanfaatan lahan hutan payau Perum Perhutani
dengan Pesanggem/mitra KTH payau
dengan batas waktu tertentu (perjanjian
kerjasama di buat dalam jangka
waktu 1 tahun) , dengan pemakaian lahan yang
digarap 80% tanaman dan 20%
untuk budidaya ikan.
Pariwisata seyogyanya
dipertimbangkan sebagai suatu potensi pemanfaatan
mangrove yang tidak merusak,
baik pemanfaatan mangrove secara langsung maupun
tidak langsung, sebagai suatu
sumber pendapatan tambahan yang potensial bagi
penduduk daerah mangrove.
Ada beberapa pilihan untuk
mengenbangkan wisata alam di kawasan mangrove,
sebagai contoh di dalam kawasan
hutan lindung (hutan mangrove) yang di kelola oleh
KPH Indramayu BKPH Indramayu
dapat dikembangkan wisata alam mangrove
mungkin berguna bila
dikembangkan untuk menyediakan atraksi sederhana, misalnya
pembuatan jembatan gantung
diantara pohon mangrove untuk mengamatinya. Hal
semacam ini juga dapat digunakan
untuk rekreasi wisatawan lokal dan untuk
dijadikan tempat pendidikan
konservasi lokal. Dalam kondisi yang khusus,
pelaksanaan wisata alam yang bersifat
komersial dapat secara langsung tergantung
pada mangrove pendidikan
lingkungan dan pelatihan. Areal lain yang bisa
dikembangkan untuk dijadikan
wisata alam mangrove yaitu muara Karangsong.
Selain itu juga objek wisata
hutan mangrove juga bisa dijadikan sebagai areal
penyuluhan.
Mangrove trail salah satu daya
tarik pengunjung di Mangrove Information Center
(MIC-JICA) di Bali bisa
dikembangkan di Kabupaten Indramayu, Ide
ini memberi
cakupan yang lebih luas terhadap
potensi wisata dalam pengelolaan mangrove,
sumberdaya-sumberdaya wisata
lainnya dapat juga digunakan untuk menarik
wisatawan, adapun secara ekonomi
kegiatan wisata alam ini dapat memberikan
peluang menciptakan pendapatan
untuk masyarakat lokal dapat berbentuk pelayanan
angkutan, pemanduan, penjajaan
makanan dan jasa akomodasi.
Pantai Tirtamaya
Pantai Tirtamaya di Desa
Juntinyuat, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu termasuk
salah satu obyek wisata yang relatif lebih dikenal
masyarakat luas, dibandingkan
obyek wisata pantai lainnya yang
ada di Indramayu. Obyek Wisata Tirtamaya ini
sejak dulu sudah dikelola oleh
Pemkab Indramayu melalui Dinas Pemuda, Olahraga,
Kebudayaan dan Pariwisata.
Hanya saja dalam perjalanannya,
obyek wisata Tirtamaya yang letaknya sekitar
15 km arah Timur Kota Indramayu
yang bersebelahan dengan Pantai Glayem ini
nampaknya kurang beruntung. Hal
itu disebabkan karena Tirtamaya sejak dekade 90-
an terkena bencana alam abrasi
atau pengikisan pantai akibat ombak laut.
Sebagian besar lahan yang menjadi
bagian dari obyek wisata Tirtamaya itu,
sekarang ini sudah berubah
bentuk menjadi laut. Sejumlah fasilitas wisata berantakan.
Puluhan pohon peneduh pun satu
persatu bertumbangan karena akarnya tergerus
ombak laut.
Pemkab Indramayu telah berupaya
membenahi serta menyelamatkan obyek
wisata Tirtamaya yang di
dalamnya terdapat situs perahu kuno peninggalan pra
sejarah serta makam Ki Buyut
Tuban.
Ki Buyut Tuban dikenal
seorang kesatria dari daerah Tuban Jawa
Timur yang
jenazahnya terdampar dan dikuburkan
di dekat Pantai Tirtamaya. Untuk mengatasi
ancaman abrasi, Pemkab Indramayu
mendirikan sejumlah bangunan pemecah ombak
(break water) yang sengaja
dibuat menjorok ke laut.
Break water dibuat untuk maksud
melemahkan arus ombak laut, agar deburan
ombak itu tidak langsung
menggerus pantai. Dampaknya sudah mulai nampak.
Tingkat abrasi pantai walaupun
sedikit sudah mulai berkurang.
Disamping Break Water kini telah
dibuat pula penahan gelombang berbentuk
gundukan pasir yang dikemas
dalam karung yang dipasang disisi pantai hal ini
dimaksudkan agar abrasi tidak
terlalu menggerus pantai, berikut merupakan gambar
gundukan pasir :
Menurut warga sekitar abrasi ini
terjadi salah satunya akibat dari pembangunan
proyek UP VI Balongan PT.
Pertamina, pada saat pembangunan proyek
ini pada
tahun 80-an untuk pondasi dasar
menggunakan batuan koral dan pasir dari Pulau
Gosong yang dikeruk kemudian
disedot dan dijadikan pondasi dasar pada proyek
tersebut.
Dalam citra foto satelit pulau
gosong berbentuk atoll atau cincin hal ini
diakibatkan oleh proses
pengerukan tersebut, konon menurut nelayan sesepuh sekitar
pulau gosong pada saat sebelum
dikeruk untuk proyek tersebut luasnya lebih luas
daripada Pulau Biawak yang kini
Pulau Biawak menjadi KKLD.
Minimnya fasilitas di tempat
Wisata Pantai Tirtamaya ini adalah salah satu
kendala untuk memajukan tempat
wisata ini pembangunan serta penataan
yang
kurang baik juga salah satu
menjadi pendukung menurunnya pengunjung disamping
dari bencana abrasi.
Dalam konsep pembangunan
berkelanjutan pada umumnya mempunyai
sasaran
memberikan manfaat bagi generasi
sekarang tanpa mengurangi manfaat bagi generasi
mendatang. Charles Birch dalam
Erari K,Ph (1999) membandingkan dunia sekarang
ibarat kapal titanic dengan gunung es yang terlihat sebanyak 5 pucuk yang
merupakan ancaman bagi kehidupan
manusia antara lain : 1) ledakan penduduk, 2)
krisis pangan 3) terkurasnya sumberdaya alam diperbaharui
4) pengrusakan
lingkungan hidup dan 5) perang.
Selanjutnya disebutkan bahwa suatu tuntutan akan
perlunya masyarakat yang
berkelanjutan , dan panggilan kemanusiaan untuk
bertindak sedemikian rupa agar kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya
menikmati hidup berkelanjutan di
tengah keterbatasan dunia. Hal ini menunjukkan
walaupun dunia yang diibaratkan tersebut maka peranan masyarakat untuk
memelihara lingkungan demi
kehidupan masa mendatang. Dengan demikian bahwa
pariwisata berkelanjutan harus
bertitik tolak dari kepentingan dan partisipatif
masyarakat untuk dapat memenuhi
kebutuhan wisatawan/pengunjung
sehingga
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan kata lain bahwa
pengelolaan
sumberdaya wisata bahari
dilakukan sedemikian rupa sehingga
kebutuhan ekonomi,
social dan estetika dapat terpenuhi dengan
memelihara integritas cultural,
proses
ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung
kehidupan.
Agar supaya wisata bahari dapat
berkelanjutan maka produk pariwisata bahari
yang ditampilkan harus harmonis dengan lingkungan local
spesifik. Dengan
demikian masyarakat akan peduli terhadap sumberdaya wisata karena memberikan
manfaat sehingga masyarakat merasakan kegiatan wisata sebagai suatu kesatuan
dalam kehidupannya. Cernea (
1991) dalam Lindberg K and D E, Hawkins (1995)
mengemukakan bahwa partisipasi
local memberikan banyak peluang secara efektif
dalam kegiatan pembangunan
dimana hal ini berarti bahwa memberi wewenang atau
kekuasaan pada masyarakat
sebagai pemeran social dan bukan subjek pasif
untuk
mengelola sumberdaya membuat keputusan dan melakukan control terhadap
kegiatan –
kegiatan yang mempengaruh kehidupan sesuai dengan kemampuan
mereka. Adanya kegiatan wisata bahari haruslah
menjamin kelestarian
lingkungannya terutama yang
terkait dengan sumberdaya hayati renewable maupun
non renewable sehingga dapatmenjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat di
kawasan tersebut khususnya di
wilayah Pantai Tirtamaya ini. Wilayah
pesisir di
Indramayu sangat potensial untuk
di manfaatkan untuk kegiatan wisata Bahari
baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pengembangan wisata
bahari di dasarkan
kepada kondisi lokal
spesifik dengan melibatkan masyarakat
sekitarnya akan
berkelanjutan. Perencanaan dan
Pengembangan wisata bahari harus
dilakukan secara
terpadu sesuai dengan kondisi lokal spesifik, ekologis, bentang alam, adat dan
budaya yang merupakan komponen
ciptaan Allah untuk dapat dikelola, dimanfaatkan
sebaik mungkin demi kemuliaan Pencipta dan kehidupan manusia
di dunia.
Integrated Coastal Zone
Management (ICZM)
Pengertian Integrated Coastal
Zone Management (ICZM)
Menurut Intergovernmental Panel
on Climate Change IPCC (2004) dalam Dahuri
(1996), pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone
Management) merupakan cabang
ilmu baru bukan saja di Indonesia, namun
juga
ditingkat dunia. Dahuri
mengatakan bahwa pengelolaan zona pantai terpadu (ICZM)
adalah sebuah proses untuk
pengelolaan pantai menggunakan pendekatan terpadu,
mengenai semua aspek dari zona
pantai, termasuk batas geografis dan politik, dalam
usaha untuk mencapai pengelolaan
sumberdaya yang keberlanjutan.
Konsep ini mulai diperkenalkan
pada tahun 1992 selama KTT Bumi Rio de
Janeiro. Kebijakan tentang ICZM
diatur dalam persidangan dari puncak dalam
Agenda 21, Bab 17. Komisi Eropa mendefinisikan ICZM sebagai berikut:
ICZM
adalah dinamis, multidisiplin
dan proses berulang-ulang untuk mempromosikan
pengelolaan berkelanjutan
wilayah pesisir. ICZM meliputi
perencanaan (dalam arti
luas), pengambilan keputusan,
pengelolaan dan pemantauan pelaksanaan. ICZM
menggunakan partisipasi dan
kerjasama dari semua stakeholder untuk menilai tujuan-
tujuan masyarakat dalam suatu
wilayah pesisir, dan untuk mengambil tindakan
terhadap tujuan-tujuan pertemuan
ini. ICZM mencari, selama jangka panjang, untuk
keseimbangan lingkungan,
ekonomi, sosial, budaya dan tujuan rekreasi, semua dalam
batas-batas yang ditentukan oleh
dinamika alam.
Adapun konteks keterpaduan yang
dimaksud dalam Pasal 5 UU No. 27 Tahun
2007 wajib dilakukan dengan cara
mengintegrasikan kegiatan : 23
a. antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah
b. antar- Pemerintah Daerah
c. antar sektor
d. antara Pemerintah, dunia
Usaha, dan Masyarakat
e. antara ekosistem darat dan
ekosistem laut
f. antara ilmu Pengetahuan dan
prinsip-prinsip manajemen. Pengelolaan sumberdaya
pesisir secara terpadu
menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir
dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah
pembangunan yang berkelanjutan
secara signifikan mempengaruhi
ekosistemnya.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir
untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat
berhasil jika dikelola secara
terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM).
Apabila perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tidak dilakukan
secara terpadu, maka
dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak bahkan punah,
sehingga tidak dapat
dimanfaatkan untuk menopang keseimbangan pembangunan
nasional dalam mewujudkan bangsa
yang maju, adil dan makmur. Pengelolaan
sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses untuk
mewujudkan
pembangunan kawasan pesisir
secara optimal dan berkelanjutan (Dahuri, et al, 1996).
Tujuan ICZM
Tujuan ICZM adalah mewujudkan
pembangunan kawasan pesisir secara
berkelanjutan maka keterpaduan
dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir
dan laut mencakup empat aspek,
yaitu:
(a) Keterpaduan wilayah/ekologis
(b) Keterpaduan sector
(c) Keterpaduan disiplin ilmu
(d) Keterpaduan stakeholder.
Dengan kata lain, penetapan
komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan
pesisir yang optimal akan
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan
oleh segenap stakeholders
secara adil dan berkelanjutan
(Cicin-Sain and Knect,
1998).
Tujuan akhir dari ICZM bukan
hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi
jangka pendek, melainkan juga
menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat
dinikmati secara adil dan
proporsional oleh segenap pihak yang terlibat
(stakeholders), dan memelihara
daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir,
sehingga pembangunan dapat
berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai
tujuan tersebut maka unsur
essensial dari ICZM adalah keterpaduan dan koordinasi.
Setiap kebijakan dan strategi
dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus
berdasarkan kepada: (1)
pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah
(ekohidrologis) yang berlangsung
di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2)
kondisi ekonomi, sosial, budaya
dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini
dan yang akan datang terhadap
barang dan (produk) serta jasa lingkungan pesisir
(Bengen, 2004).
Di dalam proses pengelolaan
dilakukan identifikasi dan analisis mengenai
berbagai isu pengelolaan atau
pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan
muncul dan kemudian menyusun
serta melaksanakan kebijakan dan program aksi
untuk mengatasi isu yang
berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara
terpadu dan berkelanjutan ini
minimum memiliki empat tahapan utama yaitu: (1)
Penataan dan Perencanaan, (2)
Formulasi, (3) Implementasi, dan (4) Evaluasi. Pada
tahap perencanaan dilakukan
pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi
kendala dan permasalahan,
potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas
dasar ini, kemudian ditetapkan
tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan
kebijakan serta strategi dan
pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan
tersebut (Cicin-Sain and Knect,
1998).
Menurut Bengen (2004),
Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu
pada dasarnya merupakan suatu
proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian
terlihat bahwa pendekatan
keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir dan
laut menjadi sangat penting,
sehingga diharapkan dapat terwujud one
plan and one
manegement serta
tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan
secara keseluruhan.
Keterpaduan secara sektoral di
wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu
koordinasi tugas, wewenang, dan
tanggung jawab antar sektor atau instansi
(horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai
tingkat desa,
kecamatan, kabupaten, propinsi
sampai pemerintah pusat (vertikal integration).
Sedangkan keterpaduan sudut
pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam
pengelolaan wilayah pesisir
hendaknya dilaksanakan atas dasar inter
disiplin ilmu,
yang melibatkan bidang ilmu
ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan
lainnya yang relevan. Hal ini
wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada
dasarnya terdiri dari sistem sosial
dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan
dinamis (Bengen, 2004).
Pemanfaatan Wilayah Pesisir
untuk Perikanan Budidaya
Kawasan pesisir merupakan
potensi lahan untuk usaha perikanan budidaya, baik
budidaya perikanan berbasis di
lahan darat (land-based aquaculture) maupun
budidaya perikanan berbasis di
perairan laut (marine-based aquaculture).
Jenis budidaya di lahan darat,
terutama diwakili oleh pertambakan yang sangat
umum dipakai sebagai tempat
membesarkan ikan bandeng (Chanos chanos) dan
udang misalnya (Penaeus
monodon).
Jenis komoditi lain yang juga
dibudidayakan di pertambakan adalah kepiting
bakau, ikan belanak dan kakap
putih. Potensi lahan untuk marine-based aquaculture.
di kawasan laut Deli Serdang
diperkirakan cukup besar. Jenis komoditi yang dapat
diusahakan dalam jenis budidaya ini antara lain ikan kerapu,
ikan kakap putih,
teripang serta kerang-kerangan
(Bengen, 2004).
Wilayah pesisir selain memiliki
potensi sumberdaya yang besar, juga memiliki
kompleksitas yang cukup tinggi.
Kompleksitas yang dimaksud adalah:
1. Penentuan wilayah pesisir
baik kearah darat maupun kearah laut sangat bervariasi
tergantung karakteristik lokal
kawasan tersebut.
2. Adanya keterkaitan ekologis
(hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam
kawasan pesisir maupun antara
kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.
3. Sumberdaya wilayah pesisir
memiliki berbagai jenis sumberdaya dan jasa
lingkungan, sehingga
menghadirkan berbagai penggunaan/pemanfaatan
sumberdaya pesisir yang dapat
menimbulkan berbagai konflik kepentingan antar
sektor pembangunan.
4. Secara sosial ekonomi,
wilayah pesisir biasa dihuni oleh lebih dari satu kelompok
masyarakat yang memiliki
preferensi yang berbeda.
5. Adanya sifat common property
dari sumberdaya pesisir yang dapat mengakibatkan
ancaman terhadap sumberdaya
tersebut
6. Sistem sosial budaya
masyarakat pesisir memiliki ketergantungan terhadap
fenomena alam.
Pasal 4 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2007, menyatakan
bahwa: Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau kecil dilaksanakan dengan
tujuan:
a. Melindungi, mengkonservasi,
merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya
Sumberdaya Pesisir dan
Pulau-Pulau kecil serta sistem ekologisnya secara
berkelanjutan.
b. Menciptakan keharmonisan dan
sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dalam Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
c. Memperkuat peran serta
masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong
inisiatif masyarakat dalam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
agar tercapai keadilan,
kesimbangan, dan keberlanjutan
d. Meningkatkan nilai sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat melalui peran serta
masyarakat dalam pemanfaatan
Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil meliputi kegiatan perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian terhadap
interaksi manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya pesisir
dan pulau-pulau kecil serta proses alami secara
berkelanjutan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Pasal 5 UU No. 27 Tahun 2007).
Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan Berbasis Masyarakat
atau biasa disebut Community Based
Management (CBM) merupakan salah satu pendekatan
pengelolaan sumberdaya
alam, misalnya Perikanan, yang
meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan
masyarakat lokal sebagai dasar
pengelolaannya. Selain itu, masyarakat lokal juga
memiliki akar budaya yang kuat
dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya
(religion). Dengan kemampuan
transfer antar generasi yang baik, maka CBM dalam
prakteknya tercakup dalam sebuah
sistem tradisional, di mana akan sangat berbeda
dengan pendekatan pengelolaan lain
di luar daerahnya (Nikijuluw, 1994 dalam
Bengen, 2004).
Pengelolaan Berbasis Masyarakat
(CBM) adalah sebagai .suatu strategi
untuk
mencapai pembangunan yang
berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan
kebijakan mengenai pemanfaatan
sumberdaya alam secara berkelanjutan di suatu
daerah terletak/berada di tangan
masyarakat di daerah tersebut. Selanjutnya dikatakan
bahwa dalam sistem pengelolaan
ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung
jawab dalam melakukan
pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, di mana
masyarakat sendiri yang
mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasi nya serta
masyarakat itu pula yang membuat
keputusan demi kesejahteraannya (Carter, 1996
dalam Bengen, 2004).
BAB III
METODELOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum dilakukan pada tanggal
10-11 Desember 2010, kegiatan dilakukan di
daerah Indramayu tempat-tempat
yang dikunjungi antara lain:
1. Diskanla Indramayu
2. Pantai Karangsong Indramayu
3. Pantai Tirtamaya Indramayu
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada
praktikum kali ini adalah metode wawancara.
Wawancara adalah proses penggalian informasi melalui
tanya jawab antara
pewawancara dengan narasumber.
Tujuan dari wawancara adalah mendapatkan
informasi dari narasumber atau
informan untuk keperluan proses pengambilan
maupun evaluasi kebijakan
publik. Fungsi dari data yang diperoleh melalui
wawancara adalah mendapatkan
gambaran dari permasalahan tertentu yang dialami
narasumber.
Keutamaan metode wawancara adalah
dapat menyajikan informasi yang beragam,
dan kadang tidak terduga
sebelumnya, dapat memberikan gambaran mengenai respon
maupun sikap masyarakat terhadap
kebijakan publik, dan mampu menjaring aspirasi
yang beragam dari masyarakat
untuk analisis kebijakan publik.
Kelemahan dari metode wawancara
adalah informasi yang didapatkan cenderung
subyektif (benar menurut
narasumber atau informan)
selain itu, hasil wawancara
hanya dapat menggambarkan
kecenderungan informan atau narasumber, tetapi tidak