Musim tanam 2015 ini, lahan seluas 7.065 hektar di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat dipastikan gagal panen. Termasuk ribuan hektar sawah di sentra beras Kecamatan Gabus Wetan. Kekeringan yang melanda kawasan pertanian di Cirebon dan Indramayu yang merupakan lumbung padi itu mengakibatkan sawah mengering dan tanaman kekurangan air. Padi usia produktif pun gagal berbuah, dan mati di kisaran usia 2-3 bulan.
Dari 7.065 ha sawah gagal panen itu, 2.809 ha berada di Kabupaten Indramayu, dan sisanya 4.256 ha berada di Kabupaten Cirebon. Kedua kabupaten itu menikmati aliran air irigasi dari Bendung Rentang di Majalengka yang bersumber dari Sungai Cimanuk.
Kepala Bidang Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung, Kasno, Selasa (4/8/2015), mengatakan, luasan sawah 7.065 ha itu sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
"Bahkan kalau turun hujan deras, sawah-sawah itu sudah tidak bisa diselamatkan. Padi sudah terlebih dulu mati. Saat ini yang bisa dilakukan ialah memantau kondisi cuaca dan menunggu kebijakan pemerintah selanjutnya tentang penanganan kekeringan," katanya.
Sungai-sungai yang melintasi areal persawahan di Cirebon dan Indramayu pun mengering sejak sebulan lalu. Dan pasokan air baku untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK) di Kabupaten Indramayu pun terkendala. Sejumlah warga berupaya membuat sumur bor untuk mengatasi hal itu.
"Saya keluar uang Rp 4 juta untuk membuat sumur bor. Tetapi, airnya tidak bisa dikonsumsi. Hanya bisa untuk cuci dan mandi," kata Tarmin (56), warga Desa Karang Mulya, Kecamatan Kandanghaur.
Ketua Dewan Air Indramayu, Karno, menuturkan, dalam kondisi air Cimanuk yang susut ini petani tidak bisa berbuat banyak. Sesuai dengan ketentuan undang-undang, penggunaan air diutamakan untuk kepentingan umum.
"Aliran air untuk MCK harus diutamakan, dan petani terpaksa mengalah dalam kondisi kekeringan seperti ini," ujar Karno yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Indramayu ini.
Berharap dari Waduk Jatigede
Berlokasi di Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat; bendungan yang berjenis urugan batu (rockfill) ini akan memiliki tinggi 110 m dan kapasitas tampung sampai dengan 980 juta m³. Bendungan Jatigede direncanakan memiliki fungsi untuk mengairi areal irigasi seluas 90.000 Ha, menyediakan air bersih bagi Kabupaten Cirebon, Indramayu dan kawasan sekitarnya dengan kapasitas 3.500 liter/detik, serta menyuplai air untuk PLTA yang mampu menghasilkan listrik sebesar 690 GWH per tahun dengan kapasitas terpasang 110 MW.
Waduk Jatigede ini dibangun di lahan seluas hampir 5.000 hektar, meliputi enam kecamatan dan 26 desa di kabupaten Sumedang. Rencana pembangunannya sudah dicetuskan oleh presiden Soekarno sekitar tahun 1963, dilanjutkan oleh Presiden Suharto. Kemudian pembebasan lahan pertama mulai dilakukan tahun 1982.
Pembangunan Waduk Jatigede masih memiliki beberapa masalah yang belum selesai, termasuk soal ganti rugi. Namun pemerintah akhirnya tetap resmi menggenangi waduk tersebut pada Senin, 31/8/2015 lalu. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimulyono, yang meresmikan penggenangan awal Waduk Jatigede mengatakan,
"Ini adalah waduk ke-231 di Indonesia. Tidak ada niat pemerintah untuk menyengsarakan rakyat. Semuanya pasti untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat," tuturnya.
Meski demikian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengecam realisasi proyek Waduk Jatigede dan menyebut pengaktifan waduk itu sebagai "tragedi kemanusiaan". Mereka beralasan karena daerah genangan Waduk Jatigede dikenal dengan hasil padinya, setidaknya 30% kebutuhan padi Sumedang didapatkan dari wilayah ini. Mayoritas penduduknya adalah petani padi, petani peternak dan buruh tani.
Masih menurut mereka, saat Waduk Jatigede digenangi air, fasilitas umum yang akan tergenang antara lain 22 SD, 3 SLTP, 40 mesjid, 45 mushola dan 33 posyandu. Sebagian masyarakat juga masih mengeluhkan pembayaran kompensasi atau ganti rugi. Keluhan itu antara lain terkait dengan penyesuaian harga lahan dan bangunan yang dibebaskan/mendapat ganti rugi tahun 1982 – 1986, karena dianggap terlalu kecil.
Sementara itu, pakar Hidrologi dan Lingkungan Unpad Bandung, Chay Asdak, mengungkap ekses negatif dari perencanaan pembangunan waduk Jatigede. Menurutnya, distribusi air waduk Jatigede ke depan, tidak memihak pada pengairan bagi pertanian. Disamping ekses negatif yang ditimbulkan sebagai akibat alih fungsi lahan.
Menurutnya, ke depan distribusi air Jatigede akan didominasi oleh sektor industri dan perumahan (pemukiman).
"Dengan begitu, saya kira ke depan Jabar harus siap bukan jadi daerah lumbung pangan lagi," paparnya pada Jumat (28/08/2015). .
Menurut hasil studi, dengan penggenangan (pengairan) Jatigede yang mengandalkan Sungai Cimanuk. Dampaknya, Cimanuk akan mengalami sedimentasi lebih dari 4 juta meter kubik pertahun. Hal tersebut dapat menimbulkan resiko berkelanjutan. Dengan begitu, lanjut dia, akibat sedimentasi dan pemanfaatan sungai Cimanuk, pengairan untuk fungsi pertanian utamanya di kawasan Jabar bagian Utara (Pantura), seperti Indramayu, Karawang dan Cirebon. Akan terancam, akibat dangkalnya sungai Cimanuk.
Dirinya berkesimpulan, apabila Jatigede dipaksakan berfungsi dengan kondisi seperti disebutkan. Maka diperkirakan hanya akan bertahan selama 25 tahun saja. Dari klaim perencanaan awal mengenai manfaat Jatigede, yang diperkirakan dapat bertahan selama 50 tahun.
Begitulah. Kini waduk Jatigede telah resmi digenangi air. Ke depan, mari kita lihat, bagaimanakah masa depan pertanian Indramayu dan sekitarnya. Semoga tidak lebih parah, setidaknya semoga Indramayu (khususnya bagian timur) bisa panen dua kali dalam setahun.
Dari berbagai sumber.